Biografi Carlos Tevez







Profil Carlos Tevez |Biografi Pemain BolaCarlos Tevez, Carlos Alberto Tévez (terlahir Carlos Alberto Martínez, lahir di CiudadelaBuenos AiresArgentina, 5 Februari 1984; umur 27 tahun) adalah seorang pemain sepak bola asalArgentina yang bermain sebagai striker untuk Manchester City di Liga Primer Inggris dan tim nasional Argentina.

Tévez memulai karier sebagai pemain yunior di All Boys dan Boca Juniors. Ia juga pernah bermain untuk Boca Juniors, Corinthians, West Ham United, dan Manchester United F.C. sebelum bergabung dengan Manchester City. Tévez telah tiga kali terpilih sebagai Pemain Terbaik Amerika Selatan (2003, 2004, 2005). Ia dan Dimitar Berbatovmenjadi topskor Liga Utama Inggris musim 2010-11 dengan torehan 20 gol. Tévez memperoleh medali emas saat memperkuat timnas Argentina U23 diOlimpiade Athena 2004. Ia telah memperkuat timnas senior Argentina sejak tahun 2004.

Tévez lahir dengan nama Carlos Alberto Martínez. Orang tuanya mengganti nama belakangnya, yang adalah nama ibunya, saat terjadi konflik antara All Boys dan Boca Juniors. Ia sering juga dipanggil Carlitos. Tévez memiliki bekas luka bakar yang menjalar dari telinga sebelah kanan hingga dadanya, yang didapat karena kecelakaan tersiram air mendidih sewaktu masih kanak-kanak.Ia menolak tawaran untuk menghilangkan bekas luka tersebut dengan operasi plastik oleh pihak Boca Junior.

Perjalanan karier

Boca Juniors (2001-04)
Corinthians (2005-06)
West Ham United (2006-2007)
Manchester United (2007-2009)
Manchester City (2009-)



Informasi pribadi
Nama lengkap Carlos Alberto Tévez
Tanggal lahir 5 Februari 1984 (umur 27)
Tempat lahir Ciudadela,Buenos Aires, Argentina
Tinggi 1.73 m (5 ft 8 in)[1]
Posisi bermain Striker
Informasi klub
Klub saat ini Manchester City
Nomor 32
Karier junior
1992–1996 All Boys
1997–2001 Boca Juniors
Karier senior*
Tahun Tim Tampil (Gol)
2001–2004 Boca Juniors 75 (26)
2004–2006 Corinthians 38 (25)
2006–2007 West Ham United 26 (7)
2007–2009 Manchester United (pinjaman) 63 (19)
2009– Manchester City 65 (43)
Tim nasional‡
2001 Argentina U17 6 (2)
2004 Argentina U23 6 (8)
2004– Argentina 59 (13)


»»  READMORE...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kejayaan Sepakbola Indonesia : Iswadi Idris Pemain Legendaris yang Ditakuti Asia


Kebesaran sejarah sepak bola Indonesia, tak bisa melupakan era akhir 1960-an sampai akhir 1970-an. Saat itu Indonesia menjadi kiblat Asia. Dan, salah satu tokoh kebesaran itu adalah Iswadi Idris.  Iswadi yang merupakan legendaris sepak bola nasional dan menjadi pemain nasional pertama merumput di luar negeri bersama salah satu klub sepak bola Australia, pernah menjadi ikon Timnas Indonesia era 60-70-an.Pemain yang dijuluki Boncel karena pendek (tinggi 165 cm) ini, termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Karena kehebatannya pula, dia termasuk pemain yang ditakuti Asia. Meski pendek, Iswadi pemain ulet dan cerdas. Dia juga serbabisa. Mengawali karier sebagai bek kanan, tapi dia juga sering dipasang sebagai gelandang kanan. Bahkan di akhir kariernya di timnas tahun 1980, dia malah diplot sebagai sweeper.
Hebatnya, dia bisa menjalani semua posisi itu dengan baik. Bersama Sutjipto Suntoro, Jacob Sihasale dan Abdul Kadir, dia punya popularitas besar di Asia. Itu semua berkat permainan mereka yang memang luar biasa. Bahkan, empat sekawan ini dinilai sebagai penyerang tercepat.
Di masa itu, sepakbola Indonesia sangat dihormati Asia. Bahkan, bersama Burma (sekarang Myanmar, Red), Indonesia merupakan kekuatan utama. Apalagi, timnas Indonesia saat itu sudah biasa bertemu tim-tim besar seperti PSV Eindhoven, Santos, Fiorentina, Uruguay, Sao Paulo, Bulgaria, Jerman, Uni Soviet dan masih banyak lagi.
“Jepang, Korea Selatan dan tim Timur Tengah belum punya cerita. Kekuatan besar dimiliki Indonesia dan Burma,” jelas Iswadi dalam wawancara dengan Kompas.com di PSSI tahun lalu. Tentang berbagai posisi yang dia jalani, Iswadi mengaku bisa menikmatinya. “Posisi yang sering saya perankan adalah sayap kanan. Saya suka menusuk ke gawang lawan. Entah sudah berapa gol yang saya ciptakan, yang jelas lebih dari 100 kalau dijumlah dari awal sampai akhir karier,” jelas Iswadi Idris yang juga pengurus PSSI itu.
Bakat yang dimiliki Iswadi memang istimewa. Dia tak hanya punya kecepatan lari, tapi juga teknik sepakbola yang baik. Selain itu, visi permainan Iswadi juga luas, ditopang kemampuannya memimpin rekan-rekannya. Wajar jika dia segera dijadikan kapten timnas sejak awal 1970-an sampai 1980.
Menjadi pemain sepakbola yang lama membela timnas dan dikenal luas sampai seantero Asia, sebenarnya tak pernah dipikirkan Iswadi. Awalnya dia malah menyukai atletik, karena punya kecepatan lari. Baru pada 1961, dia membaca temannya memperkuat Persija Junior di koran Pedoman Sport. Iswadi yang sejak umur 4 tahun tinggal di Kramat Lima, Jakarta Pusat, kemudian tertarik bermain bola. Awalnya bergabung dengan Merdeka Boys Football Association (MBFA), kemudian ke Indonesia Muda (IM). “Kebetulan rumah saya dekat Taman Ismail Marzuki (TIM). Dulu masih berupa kebon binatang. IM berlatih di Lapangan Anjing, tempat melatih anjing. Akhirnya saya pindah ke klub itu,” katanya.
Iswadi pun semakin menikmati sepakbola, bahkan serius menggelutinya hingga menjadi salah satu legenda Indonesia. “Sepakbola hobi yang berharga. Dulu kami bermain ingin terkenal, juga demi pengabdian kepada bangsa. Jadi semangatnya berlebihan,” terangnya. Selama kariernya sebagai pemain sepakbola, bukan sebuah gol indah yang membuat Iswadi Idris kepikiran sampai sekarang. Justru kegagalannya mencetak gol. Itu terjadi tahun 1972, ketika Indonesia menjamu Dynamo Moscow dalam partai uji coba di Senayan. “Kiper Dynamo adalah penjaga gawang terbaik abad ini, Lev Yashin. Saya bertekad menaklukkannya agar menjadi kenangan terindah. Kesempatan ada, tapi tak saya manfaatkan. Itu penyesalan yang masih terpikir sampai sekarang,” tutur Iswadi.
Waktu itu, dia menerima umpan terobosan dari Sutjipto. Dalam keadaan bebas dengan posisi yang sama, dia biasanya menendang bola ke gawang dan hampir selalu gol. “Tapi karena karisma Lev Yashin, saya seperti tak melihat ada celah untuk mencetak gol. Saya justru mengumpankan bola ke Jacob Sihasale. Dia tak siap, karena biasanya saya menendang sendiri dan gol. Habis pertandingan, pelatih Djamiat Dahlar pun kecewa karena saya menyia-nyiakan kesempatan,” sesalnya lagi.
DIISUKAN KENA SUAP
Menjadi bintang besar memang menyenangkan. Tapi, tak selamanya selalu penuh puja-puji. Demikian juga yang dialami Iswadi. Dia dan rekan-rekannya pernah syok karena diisukan terkena suap, saat membela Indonesia di babak Pra Piala Dunia 1978 lawan Singapura.
Pada pertandingan di Singapura, 9 Maret 1977, Indonesia secara mengejutkan dikalahkan tuan rumah 0-4. Padahal Singapura tim kecil dibanding Indonesia. Sebelumnya, koran-koran Indonesia dan Singapura meniupkan isu bahwa Iswadi dan kawan-kawannya menerima suap.
“Oleh sebuah koran, saya diceriterakan menyelinap lewat jendela keluar dari hotel pemain. Katanya saya mendatangi Karpak, sebuah nightclub di Singapura, dan menerima suap. Itu tak pernah terjadi. Saya dan teman-teman tak pernah menerima suap. Sueb Rizal (pemain seangkatannya, Red) tahu persis saya tak ke mana-mana, karena saya sekamar dengannya. Saya kira, isu suap sengaja diembuskan pihak Singapura agar mental kami turun dan tim Indonesia kacau,” tuturnya.
Kasus itu ternyata berbuntut panjang. Seminggu kemudian, Iswadi memperkuat Persija di Piala Marahalim di Medan. “Kebetulan, sebagian besar pemain timnas Indonesia memperkuat Persija. Begitu kami masuk lapangan, langsung dlempari benda keras oleh penonton. Kami mencoba tabah meski dituduh menerima suap,” jelasnya.
Untungnya, Persija tampil memukau. Setelah mengalahkan juara bertahan dua kali (Australia), kemudian menundukkan Thailand. Para penonton Medan pun akhirnya kembali memberikan dukungan penuh, apalagi PSMS Medan sudah teringkir.
“Di final lawan Jepang, kami seperti membawa nama Indonesia. Penonton memberi dukungan penuh dan kami menang 1-0. Itu pengalaman yang menyenangkan, sekaligus sangat memuaskan. Kami bisa menunjukkan sebagai pemain yang disiplin, meski dihantam isu suap,” ceritanya.
Iswadi sendiri tampil memukau di Piala Marahalim. Tapi, itu hanya salah satu pembuktian atas kehebatannya. Selama 12 tahun kariernya di timnas (1968-1980), dia ikut membuat sepakbola Indonesia disegani di Asia. Sebutannya boleh Boncel, tapi prestasinya mengangkasa. 

Karier

Sebagai Pemain

Bersama dengan Sutjipto SoentoroAbdul Kadir, dan Jacob Sihasale, dikenal dengan sebutan “kuartet tercepat di Asia” berkat kecepatan dan kelincahan mereka yang luar biasa. Iswadi juga terkenal sebagai pemain yang memiliki visi yang luas, disiplin, keras, dan berkarakter, baik di dalam maupun luar lapangan. Karena sosoknya tersebut, ia terpilih menjadi kapten timnas sejak awal 1970 sampai 1980. Tak hanya piawai di posisi gelandang, sejumlah posisi lainnya pun sempat ia lakoni selama membela timnas, mulai dari bek kanan hingga sweeper. Ia pun menjadi pelopor pemain serba bisa yang andal dalam berganti-ganti posisi sebelum diteruskan oleh Ronny Pattinasarani. Berkat kepiawaiannya tersebut Bang Is berhasil menjadi pemain Indonesia pertama yang dikontrak oleh klub asing yaitu Western Suburbs, Australia di tahun 1974-1975.

Sebagai Pelatih

Karier lainnya adalah sebagai pelatih. Ia pernah melatih tim Perkesa Mataram atauMataram Putra, juga timnas nasional pra-Olimpiade 1988 bersama dengan M. Basri danAbdul Kadir yang dikenal dengan sebutan “trio Basiska”.

Sebagai Pengurus PSSI

Tahun 1994, Bang Is masuk ke dalam jajaran pengurus PSSI. Sejumlah jabatan pernah dipercayakan kepadanya mulai dari Direktur Kompetisi dan Turnamen PSSI, anggota Komisi Disiplin PSSI hingga Direktur Teknik PSSI. Terakhir ia menjabat sebagai Manajer Teknik Badan Tim Nasional serta tim monitoring bersama Risdianto dan Ronny Pattinasarani.
Berpulang
Iswadi Idris terakhir berdomisili di Maguwoharjo, Depok, SlemanYogyakarta. Ia meninggal dunia di Jakarta, Jumat (11/7/2008) malam, sekitar pukul 20.00 WIB, akibat terserang stroke dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Suasana haru meliputi rumah duka Iswadi Idris di Perumahan Buncit Indah, Jl Mimosa II Blok S Nomor 15, Jakarta Selatan. Bintang sepakbola Indonesia era 1960 dan 1970-an itu, harus berpulang, karena sakit stroke, pada Jumat (11/7) malam. Almarhum yang lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948 meninggalkan seorang istri Rahma Tuti serta tiga orang anak, Kusuma Ayu Kinanti, Tubagus Dani Putranto, dan Adinda Snitaningrum Kinasih. Berbagai kalangan insan sepak bola tampak memenuhi rumah duka. Beberapa di antaranya Rony Pattinasarany dan Danurwindo. Menurut Ronny yang pernah menggantikan Iswadi Idris sebagai kapten timnas Indonesia, “Bang Is adalah sosok pekerja keras, kadang-kadang temperamen, namun banyak memberikan wejangan ke kita-kita.” Sementara pelatih Persija, Danurwindo menambahkan, “Pak Is orang yang mempunyai pendirian yang kuat dan berkarakter.” Saat ini jenazah sedang disembahyangkan di Masjid Al Ikhlas yang berada tidak jauh dari rumah duka. Baru pukul 13.00 jenazah akan diberangkatkan ke TPU Karet Bivak. Di sana Noegroho Besoes akan memimpin upacara pemakaman
Dunia sepak bola nasional kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Iswadi Idris mengembuskan nafas terakhirnya, Jumat (11/7), pukul 20.15 Wib di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan setelah mengidap penyakit stroke yang dideritanya beberapa bulan terakhir ini.
Gelandang serang terbaik yang pernah dimiliki Timnas Indonesia itu meninggal dalam usia 60 tahun. Almarhum yang lahir di  Banda Aceh, 18 Maret 1948  meninggalkan seorang istri Rahma Tuti serta tiga orang anak: Kusuma Ayu Kinanti (25), Tubagus Dani Putranto (23), dan Adinda Snitaningrum Kinasih (21). Ayu dan Tubagus telah menyelesaikan kuliahnya, sedangkan Adinda  duduk di bangku kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Salah seorang putri Iswadi Idris, Adinda, menuturkan sebelum dirawat di RS MMC Kuningan, ayahnya sempat dilarikan ke RS Jakarta Medical Center, Buncit, Selasa (8/7) malam. Sejak terjatuh di kediamannya di Perumahan Buncit Indah, Jalan Mimosa II Blok F/15, Iswadi tidak pernah lagi sadarkan diri hingga ajal menjemputnya. Saat mengembuskan nafas terakhir, Iswadi didampingi istri dan ketiga anaknya serta keluarga dekat. Sebelum meninggal, sejumlah tokoh dan rekan Iswadi seperti mantan Ketua KONI Agum Gumelar, Djohar Arifin Husein, Dony Patty dan para mantan pemain sepak bola nasional sempat membesuk almarhum di RS MMC Kuningan.
Menurut Adinda, almarhum akan dibawa ke rumah duka, namun hingga malam ini belum bisa memastikan di mana ayahnya akan dimakamkan.
Manajer Pelita Jaya, Rahim Soekasah yang pernah bersama almarhum Iswadi Idris duduk di kepengurusan PSSI mengatakan sepak bola Indonesia sangat kehilangan sosok yang mencintai sepak bola. “Iswadi memiliki dedikasi yang tinggi dalam memajukan sepak bola di tanah air, hal ini dibuktikan Iswadi yang selalu memantau pemain muda di daerah-daerah agar kelak bisa menjadi pemain nasiona yang andal,” ungkapnya dihubungi melalui telepon selulernya. Iswadi, diakui Rahim, selalu ngotot agar dikirim PSSI menyaksikan setiap pertandingan Liga Indonesia di daerah hanya untuk melihat apakah ada pemain muda berbakat. “Mungkin karena ia dipercaya oleh pengurus PSSI menjadi tim pemantau pemain muda, makanya ia selalu ngotot pergi ke daerah, hal ini dia lakukan hanya ingin melihat tim nasional masa depan Indonesia bisa kembali berjaya,” katanya. Rahim mengaku sempat membesuk Iswadi saat masih dirawat di RS MMC. “Dokter memang sebelumnya sudah menyakinkan bahwa penyakit Iswadi tidak bisa ditolong lagi, karena pendarahan di kepala yang sudah menjalar,” jelasnya

Perjalanan karier


Data Iswadi
Nama lengkap:
 Iswadi Idris
Julukan: Boncel, Bos
Lahir: Banda Aceh (Indonesia), 18 Maret 1948
Posisi: Gelandang/bek kanan
No. Kostum: 13
Karier klub: MBFA (1957-1961), IM Jakarta (1961-1968, 1970-1974), Pardedetex (1968-1970), Western Suburb Australia (1974-1975), Jayakarta (1975-1981), Persija (1966-1980)
Karier timnas: 1968-1980
Prestasi: Juara TIM Cup (1968), Merdeka Games (1969), Pesta Sukan (1972), Anniversary Cup (1972), Pemain Terbaik Piala Marahalim 1973
»»  READMORE...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Biografi Pele Sang Raja Sepak Bola




Edson Arantes do Nascimento, yang oleh dunia dikenal secara luas dengan nama "Pelé", dilahirkan pada tanggal 23 Oktober 1940 di sebuah desa kecil di Brazil yaitu Três Corações yang termasuk dalam wilayah negara bagian Minas Gerais. Ia telah dibaptis di Igreja da Sagrada Familia de Jesus, Maria de José. Ayahnya, João Ramos do Nascimento atau biasa disebut Dondinho, adalah juga pemain profesional yang cukup dikenal di dunia sepakbola. Pada jamannya ia dikenang sebagai salah satu pemain terbaik untuk bola-bola atas. Ia bermain sebagai penyerang tengah untuk klub Fluminense sampai akhirnya ia disergap cidera yang mengakibatkan tak bisa lagi berpartisipasi di dunia sepakbola divisi satu. Karena itu ibunya, Celeste, mengambil-alih tanggung jawab untuk membesarkan Pelé dan suadara-saudaranya dengan penuh cinta kasih. Ketika masih kanak-kanak, Pelé sekeluarga boyongan ke Baurú, bagian tengah São Paulo, dimana ia belajar dari para mahaguru seni sepakbola. Pada suatu hari Pelé mengakui bahwa ia merasa mempunyai 3 ikatan batin yang sama eratnya dengan Três Corações tempat ia dilahirkan, Baurú tempat ia menimba ilmu dan Santos, klub yang membawa namanya bersinar.

Karir Pelé

Pelé mengais uang pertama kali sebagai penyemir sepatu. Namun, cita-citanya sebagai pemain sepakbola tidak pernah sirna.

Ia meniti karir di sepakbola semenjak usia dini. Semula ia bergabung di beberapa tim amatir seperti Baquinho dan Sete Setembro. Menginjak usia 11 tahun, yaitu ketika ia bergabung dengan tim Ameriquinha yang tidak ada pelatihnya, ia ditemukan oleh mantan pemain tim nasional Brazil untuk Piala Dunia yang bernama Waldemar de Brito. Ia menangkap bakat yang luar biasa dari Pelé dan memberikan tawaran untuk bergabung dengan tim yang diasuhnya, yaitu Clube Atlético Baurú?. Menginjak usia 15 pada tahun 1956, de Brito memboyong Pelé ke kota São Paulo dan dicoba bermain untuk klub profesional, Santos Futebol Clube (SFC). Hari itu, de Brito berkata kepada Direktur klub bahwa "anak ini kelak akan menjadi pemain sepakbola terbesar di dunia."

Kiprah Pelé dimulai pada tanggal 7 September 1956 ketika ia menggantikan posisi penyerang tengah Del Vecchio. Secara mengejutkan ia menjebol gawang lawan dengan 6 gol dari 7 gol yang disarangkan timnya dengan posisi akhir 7-1 untuk kemenangan Santos. Pelé mengawali gol emasnya pada menit ke 36 yang bekerjasama dengan 2 penyerang pendukungnya Raimundinho dan Tite. Pelé menerima umpan di daerah kotak penalti dan meskipun ditempel ketat oleh pemain belakang lawan, ia mampu menceploskan si kulit bundar di antara kedua kaki penjaga gawang Zaluar. Zaluar belakangan dikenal secara luas sebagai korban pertama dari keganasan kaki emas Pelé. Perjalanan Pelé dari pertandingan tersebut hingga mencapai puncak kejayaannya dilalui dengan sangat cepat. Dalam pertandingan liga yang pertama kali bersama Santos, ia langsung menggebrak dengan 4 gol. Pada musim kompetisi berikutnya, ia berhasil menempatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak di kompetisi liga negara bagian São Paulo dengan 32 gol.

Mimpi buruk bagi Corinthians

Selama 10 tahun Pelé membela bendera Santos, klub Corinthians do Parque de São Jorge tidak pernah mampu mengalahkan Santos. Hasil-hasil pertemuan kedua tim tersebut adalah sebagai berikut:

14 September 1958: 1-0, 1 gol Pelé
7 Desember 1958: 6-1, 4 gol Pelé
30 April 1959: 3-2, 1 gol Pelé
26 Agustus 1959: 3-2, 1 gol Pelé
27 Desember 1959: 4-1, 2 gol Pelé
31 Juli 1960: 1-1, 1 gol Pelé
30 Nopember 1960: 6-1, 1 gol Pelé
3 Desember 1960: 1-1, 0 gol Pelé
23 September 1962: 5-2, 1 gol Pelé
3 Nopember 1962: 2-1, 1 gol Pelé
3 Maret 1963: 2-0, 2 gol Pelé
21 September 1963: 3-1, 3 gol Pelé
14 Desember 1963: 2-2, tidak main
18 Maret 1964: 3-0, 1 gol Pelé
30 September 1964: 1-1, 1 gol Pelé
6 Desember 1964: 7-4, 4 gol Pelé
15 April 1965: 4-4, 4 gol Pelé
29 Agustus 1965: 4-3, 2 gol Pelé
14 Nopember 1965: 4-2, 2 gol Pelé
8 Oktober 1966: 3-0, 0 gol Pelé
17 Desember 1966: 1-1, tidak main
13 Mei 1967: 1-1, 1 gol Pelé
10 September 1967: 2-1, tidak main
10 Desember 1967: 2-1, 1 gol Pelé

Pertama kali Corinthians berhasil menaklukkan Santos setelah periode tersebut adalah pada tanggal 6 Maret 1968 dengan skor 2-0.

Tidak lama berselang setelah Pelé mengikuti musim kompetisi pertama bersama SFC, Sylvio Pirilo, pelatih tim nasional Brazil pada waktu itu, memasukkan Pelé kedalam pasukannya. Ketika berumur 16 tahun pada tanggal 7 Juli 1957, Pelé memperkuat tim nasional Brazil melawan Argentina serta berhasil mencetak satu-satunya gol dengan skor akhir 2-1 untuk kemenangan Argentina. Datang menjelang Piala Dunia tahun 1958, dan dunia terperangah dengan kehadiran si Mutiara Hitam ini. Akselerasinya yang mengagumkan serta tembakan yang keras dan terarah benar-benar membangkitkan decak kagum bagi siapapun. Ia cukup dengan melenggang ke lapangan hijau, dan seketika itu gemuruh penonton meledak tiada hentinya mengelu-elukan dirinya. Julukan si Raja diberikan terhadap Pelé oleh pers Perancis pada tahun 1961 semenjak ia memperkuat SFC di beberapa pertandingan di Eropa.

Pelé dan Piala Dunia

Pelé turut ambil bagian dalam 4 kali Piala Dunia: Swedia tahun 1958, Chili tahun 1962, Inggris tahun 1966 dan Meksiko tahun 1970. Ia berhasil membukukan 12 gol dalam 14 kali pertandingan Piala Dunia.

Swedia 1958

Pertama kali Pelé ambil bagian dalam Piala Dunia ini adalah pada pertandingan ketiga, ketika berhadapan dengan Soviet. Ia diterjunkan atas saran dari para official tim kepada Vicente Feola untuk menurunkan Pelé dan Garrincha setelah mereka memenangi dua pertandingan terdahulu melawan Austria dengan 3-0 dan seri 0-0 melawan Inggris. Pada pertandingan pertama tersebut Pelé belum berhasil menjaringkan gol, tetapi tim Brazil berhasil menekuk Soviet dengan skor 2-0 yang dihasilkan oleh Vavá. Di pertandingan berikutnya Pelé membukukan gol satu-satunya bagi tim Brazil. Ketika Brazil berhasil mempecundangi Perancis di semi final dengan skor mencolok 5-2, Pelé melakukan hat trick dengan 3 gol sedangkan Vavá dan Didi masing-masing 1 gol. Di partai final berhadapan dengan Swedia, Pelé menjaringkan 2 gol (lihat videonya disini), demikian pula Vavá 2 gol dan Zagalo 1 gol untuk hasil akhir 5-2.

Chili 1962

Dalam partai pertama yang dimainkan tim Brazil melawan Meksiko, Pelé mencetak satu gol dan Brazil memenangi pertandingan tersebut. Sayangnya, kendati kejuaraan ini termasuk milik Pelé, tetapi ia terpaksa diistirahatkan lebih awal sebagai ujung tombak. Memasuki menit kesepuluh ketika berhadapan dengan Cekoslowakia, otot kakinya tertarik dan ia harus ditarik keluar dari pertandingan ini dan partai-partai berikutnya. Piala yang diraih Brazil kemudian mejadi milik Mané Garrincha, sementara posisi Pelé digantikan oleh Amarildo.

Inggris 1966

Sejak semula, segala sesuatunya terasa serba salah bagi tim Brazil untuk menghadapi kejuaraan ini. Bagaimanapun, 43 pemain akhirnya direkrut untuk memperkuat pasukan Brazil. Namun ketika tim bertolak ke Eropa, dua pemain terbaik mereka yaitu penjaga gawang Valdir dan penyerang Servilio dikeluarkan dari tim. Di pertandingan pertama, Brazil mengalahkan Bulgaria dengan 2-0 hasil dari kaki Pelé 1 gol dan satunya  oleh Garrincha. Kemudian Brazil kalah 3-1 melawan Hungaria dan di pertandingan berikutnya melawan Portugis, Pelé terpaksa harus ditarik keluar lapangan karena dua kali cidera oleh pemain-pemain Portugis yang bermain sangat kasar. Pergantian itu dilakukan sebagai peringatan terhadap tim lawan.

Meksiko 1970

Ini adalah kejuaraan yang menganugerahkan Piala Tetap Jules Rimet bagi Brazil. Di pertandingan pertama, Brazil menjungkalkan Cekoslowakia 4-1 melalui 2 gol dari Jairzinho, masing-masing 1 gol oleh Pelé dan Rivelino. Korban berikutnya menyusul Inggris yang ditekuk 1-0 melalui gol Jairzinho. Kemudian Brazil memenangi 3-2 atas Rumania melalui 2 gol dari Pelé dan satu gol dari Jairzinho. Kemengangan berikutnya diraih atas Peru dengan skor 4-2. Brazil melaju ke puncak setelah dalam babak semi final mempecundangi Uruguay dengan skor 3-1. Di partai Final Brazil melibas tim Itali dengan skor telak 4-1 melalui gol-gol dari Pelé (lihat videonya disini), Gérson, Jairzinho, dan Carlos Alberto. Dalam kejuaraan ini, Pelé juga membukukan 3 kali kesempatan emas terbaik dalam sejarah, sehingga membuahkan julukan penyelamatan terbaik bagi penjaga gawang Inggris, Banks, sepanjang sejarah penyelenggaraan Piala Dunia ketika ia menggagalkan sundulan kepala dari Pelé.

Tiga musim kompetisi bersama New York Cosmos

Oleh Pelé dan diambil dari Peles Homepage.

"Ini semua berawal pada tahun 1971 ketika saya masih memperkuat Santos FC bertandang ke Kongston, Jamaica dan saya menerima kunjungan Clive Toye, general manager dari sebuah tim yang baru dibentuk dengan nama Cosmos, Phill Woosman yang belakangan menjadi anggota NASL dan Kurt Lamm, sekjen Federasi Sepabola Amerika Serikat (US Soccer Federation). Mereka ingin tahu apakah saya mau bermain di Amerika untuk tim Cosmos apabila saya sudah gantung sepatu dari Santos. Ketika Prof. Mazzei menerjamahkan maksud mereka, saya bilang: 'Proffessor, katakan bahwa mereka kurang waras! Saya tidak akan bermain untuk tim manapun setelah pensiun dari Santos!'. Tiga tahun kemudian, setelah terakhir kalinya saya membela Santos, Clive Toye menelpon saya dari New York dan mengatakan bahwa Cosmos ingin bicara dengan saya tentang kemungkinan mengontrak saya. Enam bulan berselang sejak pertemuan diadakan serta berbagai pesan, telgram dan telpon ditujukan kepada saya, akhirnya saya memutuskan untuk  menerima tawaran Warner Communications, pemilik klub New York Cosmos, untuk berkecimpung lagi di dunia profesional selama tiga musim kompetisi.

Kenangan tentang Pelé yang tak terlupakan

Pelé adalah orang yang dapat menggerakkan massa. Di akhir tahun enampuluhan, ketika ia bersama timnya Santos bertandang ke Nigeria untuk memainkan beberapa partandingan persahabatan, perang sipil yang sedang berkobar di negara itu seketika terhenti selama kunjungannya. Ketika ia menjejakkan kaki di Amerika Serikat untuk berbagung dengan New York Cosmos, ia menyedot ribuan penggemar ke stadion hanya karena ingin menyaksikan dirinya. Pelé adalah sebuah idola bagi jutaan orang sampai saat ini. Namanya disebut-sebut di seluruh penjuru dunia dengan berbagai pujian.

Banyak nama-nama terkenal memberikan atribut tentang Pelé, diantaranya sebagai berikut:

"Bagaimana anda mengeja Pelé? H-E-B-A-T."
The Sunday Times, koran London.

"Seandainya Pelé tidak dilahirkan sebagai seorang laki-laki, maka ia akan terlahir sebagai sebuah bola."
Armando Nogueira, jurnalis Brazil.

"Melahirkan 1.000 gol seperti yang Pelé jaringkan tidaklah sesulit melahirkan seorang Pelé."
Carlos Drummond de Andrade, penyair Brazil.

"Setelah gol kelima terjadi, saya ingin memberi hormat kepadanya."
Sigge Parling, pemain belakang Swedia yang menempel Pelé sepanjang pertandingan final Piala Dunia 1958.

"Saya kira: ia toch terbuat dari kulit dan tulang seperti saya. Ternyata saya salah."
Tarciso Burnigch, pemain belakang Italia yang menempel Pelé selama partai final Piala Dunia 1970.

"Wow, man, anda terkenal."
Robert Redford, setelah ia menyaksikan Pelé memberikan lusinan foto dirinya di New York sedangkan ia tidak diminta satu lembarpun.

"Pelé tidak akan punah."
Edson Arantes do Nascimento - Pelé.

Di tahun 1993, Pelé diangkat sebagai anggota Dewan Kehormatan Sepak Bola Amerika Serikat. Setelah Pelé bermain di sebuah stadion di Lima, ibukota Peru, di dinding stadion terpampang papan bertuliskan "Pelé pernah bermain disini." Suatu kali ia bahkan menghetikan perang sipil (lihat di atas) di Nigeria: 48 jam gencatan senjata ditandatangani dengan Biafra sehingga kedua belah pihak dapat menyaksikan pertandaingan eksebisi yang dimainkan oleh Pelé. Ketika ia pamit dari tim nasional pada tanggal 18 Juli 1971, 200.000 orang tumpah ruah di monumen Maracanã, dan ia menghadiahkan kaos bernomor punggungnya yang bersejarah yaitu nomor 10 kepada seorang anak berusia 10 tahun.

Pelé adalah satu-satunya orang yang berhasil memboyong 3 kali Piala Dunia sebagai pemain (1958, 1962 dan 170) dan mencetak 1.281 (atau 1284) gol di 1.363 pertandingan profesional yang barangkali ini merupakan rekor sepanjang masa di dunia sepakbola. Ini adalah rata-rata gol sepanjang masa dengan 0,93 gol tiap pertandingan. Pada tahun 1959 ia mengukuhkan diri sebagai pencetak gol terbanyak di liga São Paulo dengan 126 gol dalam satu musim kompetisi. Pada tanggal 21 Nopember 1964, ia mencetak 8 gol dalam satu pertandingan melawan Botafogo dari Rio de Janeiro. Tanggal 19 Nopember 1969 ketika ia mencetak golnya ke-1.000 yang sangat terkenal dari titik penalti di menit ke 34 melawan Vasco da Gama, ia mendedikasikan gol tersebut kepada para anak-anak miskin dan orang-orang jompo yang menderita di Brazil. Pelé juga turut ambil bagian dalam apa yang dikenal dengan "Usia Emas" dari Libertadores Cup dari 1960 sampai1963 dimana Peñarol, kesebelasan dari Uruguay, menjadi langganan bertemu Santos di babak final. Peñarol memenangkan pertandingan pada 1960 dan 1961 sedangkan Santos merebut gelar juara berturut-turut pada 2 tahun berikutnya.

Pelé memberikan inspirasi atas peranan pengatur irama permainan sebagai tipe pemain tengah. Ia selamanya memimpin pemain-pemain hebat Brazil lainnya seperti Vavá, Didi, Garrincha, dan masih banyak lagi. Banyak yang memberikan penilaian bahwa Pelé tetap akan menjadi pemain terbaik seandainya dia ditempatkan pada posisi manapun. Pelé bahkan pernah suatu kali bersikukuh kepada manajer Santos untuk bermain sebagai penjaga gawang. Pada tanggal 19 Januari 1964 ia menggantikan posisi Gilmar, penjaga gawang Santos yang dikeluarkan oleh wasit, dalam babak semi final Piala Brazil. Selama lima menit, setelah menciptakan 3 gol, Pelé menggunakan nomor punggung 1 dan melakukan dua kali penyelamatan yang spektakuler sehingga mengamankan jalan bagi Santos untuk menuju babak final.

Perpisahan dengan Santos

Pelé bermain untuk terakhir kalinya selama 21 menit bersama Santos Futebol Clube dalam suatu pertandingan pada tanggal 3 Oktober 1974, mulai jam 21:08. Santos memenangkan pertandingan melawan Ponte Preta tersebut dengan skor 2-0 melalui gol Cláudio Adão dan gol bunuh diri dari Geraldo. Tetapi pertandingan sempat terhenti bagi para penggemar ketika:

"Aos 21 minutos de jogo, quando Pelé, inesperadamente, pegou a bola com as mãos, ajoelhou-se no meio do gramado e ergueu os braços, a torcida que estava em Vila Belmiro não pôde negar-se a um momento de surpresa. Mas, foi apenas um momento. Logo, ela compreendeu que Pelé estava determinando o final de sua carreira de maior jogador de futebol de todos os tempos."

[Di menit ke 21, ketika Pelé secara tak terduga menangkap bola dengan kedua belah tangannya, kemudian berlutut di tengah lapangan dan mengangkat kedua tangannya, menyebabkan gemuruh di stadion Vila Belmiro seketika menjadi tercengang menyaksikan adegan tersebut. Tetapi hanya berlangsung sejenak. Penonton segera menyadari bahwa Pelé telah memutuskan untuk mengakhiri karirnya sebagai pemain sepakbola terbaik sepanjang masa.]

Itu adalah akhir dari karir Pelé membela kostum bergaris kebanggaan Santos. Setelah itu sang kaisar Pelé diboyong oleh New York Cosmos dengan tujuan mempopulerkan olahraga sepakbola di tanah Paman Sam. Dan satu hal yang dapat dilakukan oleh Pelé dengan sempurna, adalah mempopulerkan segala keinginannya dengan kebesarannya, kecerdasannya, dan ketokohannya yang mendunia.
»»  READMORE...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS